Dalam dunia psikologi, teori Stimulus-Respons adalah konsep yang menarik yang mengungkapkan bahwa perilaku manusia terbentuk dari interaksi antara stimulus yang memicu dan respons yang dihasilkannya. Seperti sebuah cerita yang menarik, kita sebagai karakter utama merespons panggilan aksi setiap kali ada lonceng berbunyi. Namun, seperti halnya setiap cerita, ada lapisan-lapisan yang lebih dalam yang membuatnya lebih kompleks daripada yang terlihat pada permukaan.
Mari kita ambil contoh kondisioning klasik yang terkenal dengan kisah anjing milik Pavlov. Anjing-anjing itu mulai mengeluarkan air liur setiap kali mereka mendengar bel makanan berbunyi. Pada awalnya, mereka hanya bereaksi ketika melihat makanan, tetapi setelah beberapa kali bunyi bel dikaitkan dengan makanan, bel itu sendiri menjadi stimulus yang memicu air liur. Seperti halnya anjing Pavlov, kita juga bisa terkondisi untuk merespons sesuatu hanya karena kita sering terpapar padanya.
Namun, bagaimana hal ini berlaku untuk manusia? Ambil contoh eksperimen “Little Albert” yang mencengangkan. Seorang bayi kecil, Albert, awalnya tidak takut pada tikus putih. Namun, setelah dipasangkan dengan suara keras, tikus putih itu sendiri menjadi sesuatu yang menakutkan bagi Albert. Seperti memahami bahwa terkadang kita bisa menjadi takut pada sesuatu hanya karena dihubungkan dengan pengalaman yang tidak menyenangkan.
Tetapi, ada yang mempertanyakan kebenaran teori ini. B.F. Skinner mengatakan bahwa teori kondisioning klasik terlalu sederhana, sementara Albert Bandura membawa pemikiran baru dengan membuktikan bahwa kita tidak selalu merespons karena ada sesuatu yang memicu, tetapi terkadang kita belajar dari melihat orang lain. Ini seperti melihat pertunjukan boneka Bobo yang mengajarkan bahwa kita bisa meniru perilaku tanpa janji imbalan.
Sebagai penutup, mari kita perhatikan pandangan alternatif. Seperti dalam kisah tikus dan suara keras yang dilakukan oleh Robert Rescoria, ia menemukan bahwa terkadang kita bisa terlalu terbiasa dengan stimulus hingga kehilangan daya tariknya. Bayangkan seperti kita yang mungkin bosan dengan suatu hal setelah terlalu sering mengalaminya.
Dalam kesimpulan, teori Stimulus-Respons mencoba menjelaskan bahwa perilaku manusia adalah hasil dari interaksi antara stimulus dan respons. Namun, seiring waktu, kita mungkin menemukan bahwa terkadang cerita itu lebih kompleks daripada sekadar stimulus dan respons, dan ada banyak elemen yang berkontribusi pada perilaku kita yang unik. Sama seperti dalam dunia hipnoterapi, pemahaman tentang teori ini dapat membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang pikiran, tubuh, dan jiwa manusia.
Wassalam wr wb,
Andri Hakim
Professional Hypnotherapist & President IACT-USA Chapter Indonesia